
Salah satu fenomena yang cukup memprihatinkan pada zaman kita saat
ini adalah rendahnya semangat dan motivasi untuk
menuntut ilmu
agama. Ilmu agama seakan menjadi suatu hal yang remeh dan terpinggirkan
bagi mayoritas kaum muslimin. Berbeda halnya dengan semangat untuk
mencari ilmu dunia. Seseorang bisa jadi mengorbankan apa saja untuk
meraihnya. Kita begitu bersabar menempuh pendidikan mulai dari awal di
sekolah dasar hingga puncaknya di perguruan tinggi demi mencari
pekerjaan dan penghidupan yang layak. Mayoritas umur, waktu dan harta
kita, dihabiskan untuk menuntut ilmu dunia di bangku sekolah. Bagi yang
menuntut ilmu sampai ke luar negeri, mereka mengorbankan segala-galanya
demi meraih ilmu dunia: jauh dari keluarga, jauh dari kampung halaman,
dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan ilmu agama? Terlintas dalam benak
kita untuk serius mempelajarinya pun mungkin tidak. Apalagi sampai
mengorbankan waktu, harta dan tenaga untuk meraihnya. Tulisan ini kami
maksudkan untuk mengingatkan diri kami pribadi dan para pembaca bahwa
menuntut ilmu agama adalah kewajiban yang melekat atas setiap diri kita,
apa pun latar belakang profesi dan pekerjaan kita.
Kewajiban Menuntut Ilmu Agama
Sebagian di
antara kita mungkin menganggap bahwa hukum menuntut ilmu agama sekedar
sunnah
saja, yang diberi pahala bagi yang melakukannya dan tidak berdosa bagi
siapa saja yang meninggalkannya. Padahal, terdapat beberapa kondisi di
mana hukum menuntut ilmu agama adalah wajib atas setiap muslim
(fardhu ‘ain) sehingga berdosalah setiap orang yang meninggalkannya. Sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
”Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah. Dinilai
shahih oleh Syaikh
Albani dalam
Shahih wa Dha’if Sunan Ibnu Majah no. 224)
Dalam
hadits ini, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya
wajib atas setiap muslim,
bukan bagi sebagian orang muslim saja. Lalu, “ilmu” apakah yang
dimaksud dalam hadits ini? Penting untuk diketahui bahwa ketika Allah
Ta’ala atau Rasul-Nya Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan
kata “ilmu” saja dalam Al Qur’an atau As-Sunnah, maka ilmu yang
dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama), termasuk kata “ilmu” yang
terdapat dalam hadits di atas.
Sebagai contoh, berkaitan dengan firman Allah
Ta’ala,
وَقُلْ رَبِّ زِدْنِي عِلْمًا
“Dan katakanlah,‘Wahai Rabb-ku, tambahkanlah kepadaku ilmu’“. (QS. Thaaha [20] : 114)
maka Ibnu Hajar Al-Asqalani
rahimahullah berkata,
( وَقَوْله عَزَّ وَجَلَّ : رَبّ زِدْنِي عِلْمًا ) وَاضِح
الدَّلَالَة فِي فَضْل الْعِلْم ؛ لِأَنَّ اللَّه تَعَالَى لَمْ يَأْمُر
نَبِيّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِطَلَبِ الِازْدِيَاد مِنْ
شَيْء إِلَّا مِنْ الْعِلْم ، وَالْمُرَاد بِالْعِلْمِ الْعِلْم
الشَّرْعِيّ الَّذِي يُفِيد مَعْرِفَة مَا يَجِب عَلَى الْمُكَلَّف مِنْ
أَمْر عِبَادَاته وَمُعَامَلَاته ، وَالْعِلْم بِاَللَّهِ وَصِفَاته ،
وَمَا يَجِب لَهُ مِنْ الْقِيَام بِأَمْرِهِ ، وَتَنْزِيهه عَنْ
النَّقَائِض
“Firman Allah Ta’ala (yang artinya),’Wahai Rabb-ku, tambahkanlah
kepadaku ilmu’ mengandung dalil yang tegas tentang keutamaan ilmu.
Karena sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan Nabi-Nya
shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta tambahan sesuatu kecuali
(tambahan) ilmu. Adapun yang dimaksud dengan (kata) ilmu di sini adalah ilmu syar’i.
Yaitu ilmu yang akan menjadikan seorang mukallaf mengetahui
kewajibannya berupa masalah-masalah ibadah dan muamalah, juga ilmu
tentang Allah dan sifat-sifatNya, hak apa saja yang harus dia tunaikan dalam beribadah kepada-Nya, dan mensucikan-Nya dari berbagai kekurangan”. (
Fathul Baari, 1/92)
Dari penjelasan Ibnu Hajar
rahimahullah di atas, jelaslah bawa
ketika hanya disebutkan kata “ilmu” saja, maka yang dimaksud adalah
ilmu syar’i. Oleh karena itu, merupakan sebuah kesalahan sebagian orang
yang membawakan dalil-dalil tentang kewajiban dan keutamaan menuntut
ilmu dari Al Qur’an dan As-Sunnah, namun yang mereka maksud adalah untuk
memotivasi belajar ilmu duniawi. Meskipun demikian, bukan berarti kita
mengingkari manfaat belajar ilmu duniawi. Karena hukum mempelajari ilmu
duniawi itu tergantung pada tujuannya. Apabila digunakan dalam
kebaikan, maka baik. Dan apabila digunakan dalam kejelekan, maka jelek. (Lihat
Kitaabul ‘Ilmi, hal. 14)
Ilmu Apa Saja yang Wajib Kita Pelajari?
Setelah kita mengetahui bahwa hukum menuntut ilmu agama adalah wajib,
maka apakah kita wajib mempelajari semua cabang ilmu dalam agama?
Tidaklah demikian. Kita tidak diwajibkan untuk mempelajari semua cabang
dalam ilmu agama, seperti ilmu
jarh wa ta’dil sehingga kita
mengetahui mana riwayat hadits yang bisa diterima dan mana yang tidak.
Demikian pula, kita tidak diwajibkan untuk mempelajari rincian setiap
pendapat dan perselisihan ulama di bidang ilmu fiqh. Meskipun bisa jadi
ilmu semacam itu wajib dipelajari sebagian orang
(fardhu kifayah), yaitu para ulama yang Allah
Ta’ala berikan kemampuan dan kecerdasan untuk mempelajarinya demi menjaga kemurnian agama.
Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Ibnu Hajar
rahimahullah di
atas, kita “hanya” wajib mempelajari sebagian dari ilmu agama, yaitu
ilmu yang berkaitan dengan ibadah dan muamalah, sehingga kita dapat
beribadah kepada Allah
Ta’ala dengan benar. Kita juga wajib mempelajari ilmu tentang
aqidah dan tauhid, sehingga kita menjadi seorang muslim yang beraqidah dan mentauhidkan Allah
Ta’ala dengan benar dan selamat dari hal-hal yang merusak aqidah kita atau bahkan membatalkan keislaman kita.
Ibnul Qoyyim
rahimahullah telah menjelaskan ilmu apa saja yang
wajib dipelajari oleh setiap muslim. Artinya, tidak boleh ada seorang
muslim pun yang tidak mempelajarinya. Ilmu tersebut di antaranya:
Pertama, ilmu tentang pokok-pokok keimanan, yaitu keimanan kepada Allah
Ta’ala, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan hari akhir.
Ke dua, ilmu tentang syariat-syariat Islam. Di antara yang
wajib adalah ilmu tentang hal-hal yang khusus dilakukan sebagai seorang
hamba seperti ilmu tentang wudhu, shalat, puasa, haji, zakat. Kita wajib
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan ibadah-ibadah tersebut,
misalnya tentang syarat, rukun dan pembatalnya.
Ke tiga, ilmu tentang lima hal yang diharamkan yang disepakati
oleh para Rasul dan syariat sebelumnya. Kelima hal ini disebutkan dalam
firman Allah
Ta’ala,
ö قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ
تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا
عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Katakanlah,’Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik
yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak
manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah
dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
(mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu
ketahui’”. (QS. Al-A’raf [7]: 33)
Kelima hal ini adalah haram atas setiap orang pada setiap keadaan.
Maka wajib bagi kita untuk mempelajari larangan-larangan Allah
Ta’ala, seperti haramnya zina, riba, minum khamr, dan sebagainya,
sehingga kita tidak melanggar larangan-larangan tersebut karena kebodohan kita.
Ke empat, ilmu yang berkaitan dengan interaksi yang terjadi antara seseorang dengan orang lain secara khusus (misalnya istri, anak, dan
keluarga
dekatnya) atau dengan orang lain secara umum. Ilmu yang wajib menurut
jenis yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan perbedaan keadaan dan
kedudukan seseorang. Misalnya, seorang pedagang wajib mempelajari
hukum-hukum yang berkaitan dengan perdagangan atau transaksi jual-beli.
Ilmu yang ke empat ini berbeda-beda sesuai dengan kondisi dan kebutuhan
masing-masing. (Lihat
Miftaah Daaris Sa’aadah, 1/156)
Dari penjelasan Ibnul Qoyyim
rahimahullah di atas, jelaslah
bahwa apa pun latar belakang pekerjaan dan profesi kita, wajib bagi kita
untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut di atas. Menuntut ilmu agama tidak
hanya diwajibkan kepada ustadz atau ulama. Demikian pula kewajiban
berdakwah dan memberikan nasihat kepada kebaikan, tidak hanya
dikhususkan bagi para ustadz atau para da’i. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَوَاللَّهِ لأَنْ يَهْدِىَ اللَّهُ بِكَ رَجُلاً خَيْرٌ لَكَ مِنْ أَنْ يَكُونَ لَكَ حُمْرُ النَّعَمِ
“Demi Allah, jika Allah memberikan petunjuk kepada satu orang saja
melalui perantaraanmu, itu lebih baik bagimu dibandingkan dengan unta
merah (yaitu unta yang paling bagus dan paling mahal, pen.)”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan tidak diragukan lagi, bahwa untuk berdakwah sangat membutuhkan
dan harus disertai dengan ilmu. Bisa jadi, karena kondisi sebagian
orang, mereka tidak terjangkau oleh dakwah para ustadz. Sebagai contoh,
betapa banyak saudara kita yang terbaring di rumah sakit dan mereka
meninggalkan kewajiban shalat? Di sinilah peran penting tenaga
kesehatan, baik itu dokter, perawat, atau ahli gizi yang merawat mereka,
untuk menasihati dan mengajarkan cara bersuci dan shalat ketika sakit.
Demikian pula seseorang yang berprofesi sebagai sopir, hendaknya
mengingatkan penumpangnya misalnya untuk tetap menunaikan shalat
meskipun di perjalanan. Tentu saja, semua itu membutuhkan bekal ilmu
agama yang memadai.
Terahir, jangan sampai kita menjadi orang yang sangat pandai tentang
seluk-beluk ilmu dunia dengan segala permasalahannya, namun lalai
terhadap ilmu agama. Hendaknya kita merenungkan firman Allah
Ta’ala,
يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الْآَخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ
“Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia, sedangkan mereka lalai tentang (kehidupan) akhirat”. (QS. Ar-Ruum [30]: 7)
—
Penulis: dr. M. Saifudin Hakim, MSc.